Kamis, 20 Februari 2014

Si Dia

         “Hallo dek!” suara itu terdengar bulat di hp yang menempel di telingaku.              
         “Gimana? Berapa ip mu semester kemarin, ada perubahan tidak”? suara bulat itu kembali menyapa dengan sebuah pertanyaan yang sebelumnya sudah ku duga pasti akan ku dapati juga darinya. Suara bulat itu adalah suara abangku, Daus namanya. Aku yakin hari ini memang pasti ia akan menanyakan itu.            
         “Iya bang, Alhamdulillah ada bang” jawabku. “Alhamdulillah juga tidak ada yang gagal semester ini, dan lebih baik dari kemarin bang”. Aku sedikit bangga menjawabnya. Karena memang nilaiku naik dari sebelumnya. Aku baru saja melewati semester yang berat kemarin, tepat hari ini hasil dari jerih payahku selama enam bulan itu akan diumumkan. Itulah yang ingin diketahui oleh abangku Daus. Memang setiap aku selesai ujian abangku itu selalu bertanya kapan pengumuman nilai atau indeks prestasi itu diumumkan. Bang Daus sangat beralasan untuk menanyakan nilaiku itu, aku memang kuliah dalam pembiayaan dia. Sudah semester 3 semua biaya kuliahku di tanggung olehnya. Karena itulah ia tidak ingin aku main-main dalam kuliah. Tetapi untung saja nilaiku bagus, jadi aku bisa sedikit bangga. Karena semester sebelumnya nilaiku tak sebagus sekarang.                                                                                                                             Aku memang sedang berbangga, bukan saja karena nilaiku itu naik, tetapi aku membanggakan diriku karena aku bisa melewati semester kemarin dengan mendapatkan nilai yang tak kuduga sebelumnya. Semester itu merupakan semester yang sangat sibuk bagiku. Bila saja aku renungkan semua, terkadang tak akan percaya aku dapati nilai itu, dalam ketidaksadaran itu pula aku mengingat semuanya, aku ingat kala itu aku sangat disibukkan organisasi kampus yang sangat menyita waktu bermain dan belajarku, apalagi di kampus aku mengikuti dua organisasi sekaligus, dan dengan kesibukan itu pula aku lupa pada kekasihku. Aku lupa memberikan perhatian padanya, sehingga ia berpaling dariku. Dan itulah saat-saat tersulit.  Kisah yang pedih bagiku.                                                                                                      
          Pagi itu matahari tak seperti biasanya, yang biasa membakar kulit dan menantang garang  sebelum-sebelumnya, pagi itu seakan tak tampak kala mendung mulai menutupi. Seakan matahari pagi itu kalah dalam pertarungan yang sangat hebat, dan akhirnya ia menangis. Membuat padang kota tercinta redam sementara waktu dari terik yang selalu membakar itu. Dalam cuaca yang amat dingin, aku terpaksa menarik kembali selimut yang sebelumnya sudah mulai aku lepaskan. Karena hari itu ku tak ada ujian, jadi tidur bisa aku lanjutkan. Selimut seakan-akan melenakan aku dalam dingin dan membuat mata terkalahkan. Tak berapa lama ku terpejam, suara hp yang sehari-hari menemaniku berbunyi, seakan dia tahu tuannya sedang tidur dan harus dibangunkan. Rasa hangatnya selimut membuat aku enggan untuk mengangkatnya. Karena aku tahu, tak ada orang lain yang menghubungiku pagi-pagi selain si dia.                                                                           “ah... biarlah, nanti saja”! pikirku. Aku melanjutkan keinginan terbesar mataku pagi itu. Sehingga tak ku sadari saat terbangun sudah pukul 11.00 saja rupanya. dan di hp pun sudah lebih dari 10 kali panggilan tak terjawab. Serta ada 2 pesan, yang satu dari si dia dan satu dari koordinatorku di bidang kaderisasi organisasiku. Aku tak langsung membalas kedua pesan itu. Aku langsung mandi, sesudahnya baru ku buka lagi pesan keduanya. Ternyata hanya satu pesan yang membutuhkan balasan, yaitu dari si dia. Karena pesan dari koordinatorku itu hanya berisi pesan mengingatkan aku bahwa nanti sore ada rapat seperti biasa. Semantara pesan dari si dia berisi pertanyaan mengapa aku tak angkat telfonnya, karena ada sesuatu yang sangat penting yang ingin ia bicarakan. Padahal aku tahu, palingan ia hanya ingin bilang kangenlah, rindulah, ujung-ujungnya pengen ketemu. Padahal aku orang yang sibuk di kampus, belum lagi sekarang masa-masa ujian dan aku harus fokus belajar. Tapi dari pemikiran ego itu aku terbesit juga rasa rindu padanya. Secuek-cueknya aku, aku juga butuh dia, orang yang selama ini selalu menemani, membantu dan dia baik sekali.             “ mungkin dia memang sedang membutuhkan aku”! pikirku sejenak. Lalu aku mencoba menelfonnya. Eehh... tau-taunya nomor yang aku hubungi itu sedang menerima panggilan dari nomor lain. Itu ku ketahui karena operator selular itu mengatakan “ nomor yang Anda tuju sedang sibuk, cobalah hubungi beberapa saat lagi”!. Jawaban itu membuatku curiga dan tak terima. Namun aku paksa segumpal daging penentu arah baik buruknya manusia itu untuk bersabar. Dan benar saja, kesabaran itu berbuah hasil juga, ia menghubungiku.                                                                                                               
             “Halo, kok nomornya sibuk? Terlalu banyak penggemarmu ya”? Sindirku yang menunjukkan ketidaksenanganku kala itu.                                                                                        
             “maaf bang, tadi bapak di kampung menelfon adek, bertanya kapan ujiannya”! jawabnya membela diri. Aku langsung saja percaya, karena memang orang tuanya sering menelfonnya. Dia memang anak kesayangan orang tuanya. Hanya dia anak perempuan satu-satunya dikeluarga. Dia dikuliahkan di Padang juga. Tapi tak sekampus denganku. Dia kuliah di kampus swasta jurusan kebidanan.                                                                                                
             “ya sudah tak apa!” jawabku.                                                                                                 “                    "Bang, bisa temani adek ke tempat service laptop? Laptop adek rusak bang”!. sambungnya seolah langsung saja mencari topik lain agar aku tak lagi marah. Tapi karena aku ada jadwal ujian, terpaksa aku menolaknnya.                                                 
             “maaf dek, Abang ada ujian di jam yang bersamaan dengan permintaan adek, gimana kalau lain kali saja”? tanyaku seolah seperti menghindar. Padahal aku sangat ingin bertemu dia. Karena sudah seminggu aku tak melihat parasnya. Rasa seminggu itu bagaikan waktu yang sangat lama untuk menanti, Tapi memang aku sedang tak sempat untuk menemuinya hari itu karena ada ujian. Aku tak mau rasa rindu mengganggu fokusku.                                      
             “ ya sudah bang tidak apa-apa! Nanti adek minta tolong sama lusi saja”! katanya.         
             “ya dek, maafin abang ya, lain kali abang temenin adek kalau abang tak ada kegiatan”! bujukku agar dia tak terlalu kecewa. Ku terpaksa membiarkannya pergi tanpa ada aku yang menemani. Toh ada lusi juga temannya pikirku.                                                                        
             “ya bang, ngga apa-apa kok”! jawabnya. Dan percakapan itu berakhir.
            Jam menunjukkan pukul satu siang, 20 menit lagi ujian akan dimulai. Aku bergegas ke kampus agar tak terlambat dalam ujian pertama untuk hari itu. Tepat pukul 13.20 wib ujian dimulai. Aku begitu fokus membaca dan sangat berhati-hati dalam menjawabnya. Alhamdulillah ujian kali ini tidak sesulit yang aku kira. Malahan aku orang pertama yang keluar ruangan.
           Setelah ujian, rasa rindu yang sebelumnya dapat ku bendung, akhirnya kambuh lagi saat itu. Membuat pikiranku terasuki rasa yang amat tak tenang bila aku tak segera menemuinya. Rasa itulah menggerakkan aku untuk menghubunginya. Saat-saat seperti itu hp lah yang sangat aku butuhkan untuk sekedar mendengar suaranya. Aku menelfonnya. Tapi sayang, selalu saja operator selular yang menjawab telfonku. “nomor yang Anda tuju sedang tidak aktif atau berada di luar jangkauan”! itulah katanya. Rasa-rasa inginku buang hp itu. Tapi kalau di buang sayang juga. Itu adalah hp ku satu-satunya. “Entahlah” pikirku. Lagi-lagi hati ini harus bersabar. Mungkin batre hp nya sudah habis. Relung-relung pikiranku menghibur diri.                     
          Karena tak ada kabar darinya, aku mencari suasana yang bisa menyenangkan aku sementara waktu menjelang ia menghubungi aku. Tapi aku pun tak tau apa yang bisa ku lakukan. Mungkinkah aku harus ke pantai, ke kampus, atau ke Mall untuk sekedar mendinginkan badan dengan AC yang menyejukkan. Karena kami mahasiswa ini kebanyakan ke Mall itu kalau tidak ada uang cukuplah untuk ber-Ac saja. Tapi dari opsi tadi tak ada yang aku pilih. Malahan aku pergi ke pasar untuk hanya sekedar jalan-jalan saja.                                 Di pasar, tak ada yang aku beli. Jangankan membeli, menawarkan saja tidak. Aku hanya untuk mencari hiburan atau hanya sekedar cuci mata. Semua jorong atau pun simpang yang ada orang berjualan tak lepas dari kunjungan mataku. Semuanya dapat ku kunjungi meskipun hanya dari kejauhan. Tentu saja cukup melelahkan dan membuat lapar juga perut ini. Aku berusaha mencari tempat untuk menyelesaikan tanggung jawabku pada perut yang sedang meminta nasi itu. Aku pun mendapati sebuah tempat untuk itu. Aku duduk di kursi paling sudut, aku sebenarnya malu, karena hanya sendiri saja. Tak ada teman di sampingku. Yang kulihat hanyalah orang-orang tak ku kenal dengan temannya masing-masing. Ada yang dengan teman ceweknya, ada yang sesama cowok, ada juga yang dengan sesama cewek saja. Tapi aku tak menghiraukan hal itu. Yang terpenting rasa suntukku di rumah dan laparku ketika itu hilang sementara waktu sampai si dia menghubungiku.                                                   
         Saat asyik-asyiknya makan, aku melihat ada sesosok perempuan cantik bersama pasangannya di sudut sebelah kananku. Rasa-rasanya aku kenal perempuan itu, orangnya tak dari sejengkal lebih pendek dariku, berjilbab, dan mengenakan baju yang sering aku lihat selama ini. “Mungkinkah itu si dia”? pikiranku mulai tak tenang. Kalau si dia kok dia bersama pria? Bukankah dia tadi ingin memperbaiki laptopnya dengan teman ceweknya lusi? Lantas kenapa dia ada disini? Kenapa juga hp nya mati? Pertanyaan itu menghantuiku, membuat makanku tak seenak biasanya. Padahal saat itu aku memesan menu kesukaan bukanlah sepotong tahu ataupun telur dadar. Melainkan sepotong daging ayam yang di bumbui dengan cabe hijau. Tapi rasanya itu tak enak lagi ketika melihat perempuan yang ada di sudut sana.tapi aku tak berani mendekatinya. Aku takut nanti salah orang, kalaupun benar juga akan membuatku kecewa. Ini kesekian kalinya hatiku harus bersabar. Tak lama kemudian perempuan dengan teman laki-lakinya itu berdiri dari kursinya. Mungkin mereka sudah selesai makannya. Atau mungkin mereka tak ada nafsu makan seperti aku saat itu. Kok mereka cepat sekali. Ketika perempuan itu berdiri, teman laki-lakinya langsung saja memegang tangannya. Seolah-olah begitu akrab dan begitu mesra. Membuat hatiku tambah hancur dan berkeping-keping. Kok aku kecewa, itu bukanlah si dia. Itu orang yang tidak ku kenal. Aku menghibur diriku. Tetapi, ketika mereka lewat di sampingku menuju keluar. Aku dapat melihat perempuan itu dengan sangat jelas. Ternyata memang benar. Itu adalah si dia...hatiku yang selama ini keras tiba-tiba saja lunak, mengecil, membakar seluruh lemak-lemak jahat dalam tubuhku. Membuat peluh bercucuran. Seakan seperti matahari tadi pagi. Yang biasanya garang menantang membakar, tiba-tiba saja di kalahkan kabut. Sehingga menangis dan membasahi bumi. Itulah yang aku rasakan saat itu. Tak ada yang dapat aku lakukan, aku serasa kalah. Ingin ku menghampirinya tetapi dia bersama dengan seorang cowok. Yang kelihatannya lebih kuat dariku, lebih putih, lebih tinggi, lebih pula lain-lainnya, membuatku tak berdaya. Untungnya si dia tidak melihatku. Dan mereka pun berlalu. Mereka pergi meninggalkan luka teramat dalam bagiku. Pikiran dan hatiku terusir dari bumi. Seakan akan aku tak punya tempat di bumi ini. Entahlah, mungkin itu pilihan dia. Dia berhak atas hidupnya. Memang aku juga yang salah. Selama ini aku begitu cuek padanya. Jarang memperhatikannya. Sok tak membutuhkan seolah-olah hanya dia yang butuh aku. Padahal aku sangat butuh akan dia. Tetapi aku tak salah sendiri, kan aku sibuk,  dia juga harus bisa mengerti itu. Tapi kok dia tega berbuat seperti ini. Pikiran ku beradu argumen dengan sendirinya. Aku kira saat ini aku hancur. Tadinya ingin menenangkan diri malah tambah tidak tenang. Malah tambah hancur. Dalam pikiran yang berkecamuk itu, aku meninggalkan tempat itu, tempat yang tadinya aku harus bertanggungjawab penuh dengan perutku, eeh malah kecewa dan perut pun belumlah puas rasanya.                                                                      
       Sesampainya di rumah, tak ada yang aku inginkan. Aku kecewa. Baru kali ini aku merasakan apa yang aku rasakan saat ini. Mengapa dia begitu tega, bukankah kita telah lama bersama, bukankah kita dari kampung yang sama datang ke Padang untuk cita-cita kita nanti. Bukankah, bukankah, dan hatiku berisi pertanyaan bukankah? Dalam kusutnya pikiran ku itu. Tiba-tiba saja hp ku berbunyi, ternyata si dia yang mengkhianatiku yang menghubungiku. Enggan rasanya aku menjawabnya. Tapi aku harus menjawabnya.                                                
      “halo, assalamualaikum! Kenapa dek”? tanyaku.                                                                  
      “halo bang, waalaikumsalam, maaf ya bang tadi adek pergi memperbaiki laptop dengan lusi. Hp habis batre”!. katanya. Seolah-olah ingin membohongiku. Padahal aku tau semuanya. Tapi kok dia tega berbuat demikian. Aku tak habis pikir. Amarahku kian memuncak kala itu. Bajingan...                                                      “Owch...pinter kau ya, tega kau dek, tak punya perasaan”! aku langsung saja meluapkan amarah yang sudah tak terkendali itu.                                                                              
       “ada apa ini bang”? jawabnya. Seolah tak berdosa.                                                            
       “jangan pura-pura kau, aku tahu semuanya. Pengkhianat kau. Bajingan”! amarahku kian memuncak.
       “aku melihatmu bersama seorang laki-laki di pasar, kalian bergandengan tangan begitu akrab. Itu yang kau katakan memperbaiki laptop”?                                                 
       “owch jadi abang sudah tau semuanya,maaf bang, ini aku lakukan semuanya karena kau juga. Selama ini kau tak lagi seperti dulu yang begitu memperhatikan aku. Kau begitu sibuk dengan urusanmu itu. Sekarang kau sudah tau, maafkan aku”! dan hp dimatikan. hanya itu yang sempat dia ucapkan, seolah meluapkan kekecewaannya padaku. Aku sadar semua yang dikatakannya itu benar. Kini aku tak bisa menghalanginya. Itu jalan terbaik untuknya. Dia bukan lagi si dia yang ku kenal dulu. Entahlah...dalam masa-masa ujianku, dia tega melakukan ini...ingat kau! Aku terima dan akan aku hadapi...!!!                                               
       Masa sulit itu tak berlaku lagi saat ini, kini semua telah berlalu. Aku kembali berbangga pada abangku itu. Belum sempat bicara panjang lebar, ternyata sudah dimatikan sambungan komunikasi itu oleh abangku. Mungkin dari tadi...       
                                                                           Tamat                      
 

Senin, 17 Februari 2014

ukhuwah







Sahabat...
begitu indah ukhuwah yang tlah terbina...
semoga ada cinta yang menyatukan kita di surga..
sahabat...
tak akan berarti apa-apa cinta...
meski kau menggenggam cinta
tanpa ukhuwah 
cinta itu akan sirna...
ukhuwah menyatukan kita...










Si Kembar


Pagi itu cuaca sangat dingin, seakan menunjukkan hari yang sedang dalam terluka, sedih, sehingga jangankan untuk pergi sekolah, keluar rumah saja membuat orang enggan. Tapi tidak halnya dengan Andi, meski hujan begitu lebat, ia tetap saja berusaha untuk berangkat sekolah.                                                                                                                      
   “Bunda, Andi berangkat dulu ya”! Andi berpamitan kepada ibunya yang sedang menyiapkan kopi untuk ayah.                                                                                                              
  “ hari masih hujan nak, nanti sakit. Tunggu sebentar lagi, nanti ayah antar”! jawab ayah yang saat itu sedang membaca koran.                                                                                  
   “Tidak apa-apa yah, kan ada payung, Andi takut telat yah”! Andi pun berangkat tanpa bisa dicegah oleh orang tuanya. Andi memang anak yang rajin, pantang baginya untuk datang terlambat. Tidak sama halnya dengan Fandi kembarannya, yang pada saat itu masih saja tertidur.                                                                   “Bu, mana Fandi?, kok jam segini belum juga bangun”!                                                     
   “ Entah la yah, anak itu memang bandel sekali, tadi sudah ibu bangunkan tapi belum juga bangun”!. Jawab ibu singkat. Andi dan Fandi adalah saudara kembar, mereka sama-sama kelas V SD.                               Hari itu ternyata Fandi telat dan mendapatkan hukuman dari gurunya. Sesampainya di rumah, Fandi marah-marah, ia menyalahkan Andi yang membawa payung duluan ke sekolah, yang membuatnya tidak bisa berangkat dengan cuaca yang masih hujan. sebenarnya mereka punya payung masing-masing, tetapi payung milik Fandi sudah duluan rusak karena tidak digunakan dengan baik.                                                                 “dasar anak sok rajin, pergi sendiri-sendiri, egois”! Fandi memarahi Andi yang saat itu sedang mengerjakan PR-nya. Andi hanya diam, ia tak mau melawan. Karena semakin dilawan Fandi akan semakin beringas. Apabila dibiarkan maka akan diam dengan sendirinya.
Malam itu cuaca masih tak bersahabat, hujan terus mengguyur desa dimana mereka tinggal. Tak ada suara yang terdengar kecuali hujan dan bunyi katak yang terus bersahutan. Keadaan itu dimanfaatkan oleh Andi untuk belajar, serta menyelesaikan PR-nya yang masih belum siap ia kerjakan tadi siang. Sementara Fandi sibuk dengan game yang menjadi temannya setiap malam. Fandi memang begitu, setelah puas bermain game ia tidur, sedangkan PR-nya ia hanya mencontek dari Andi.Setelah PR-nya siap, Andi menyiapkan buku-buku yang akan di bawa besoknya, dan buku-buku itu letakkan di atas meja belajar. Kemudian ia tidur. Sementara Fandi masih saja sibuk dengan gamenya. Setelah Andi tertidur pulas,Fandi dengan sengaja mengambil buku yang ada di meja belajar Andi. Namun kali ini bukan untuk di contek, melainkan di ambil dan itulah tugas yang akan ia kumpulkan besok, karena namanya saja pemalas, menyontek pun ia malas apalagi membuatnya sendiri.                                                                                                    
      “mampus lo, sok pintar. Besok lo bakalan di hukum karena tak membuat PR mu”!. Fandi bicara sendiri meluapkan kegembiraannya. Padahal ia tak tahu, kalau buku yang ia ambil merupakan buku yang salah, buku PR Andi memang berwarna merah, namun ada dua buku merah di atas meja belajar itu. Fandi bukan mengambil buku belajar, tetapi buku diari Andi. Diari itu memang setiap hari Andi bawa ke sekolah. Setiap ada peristiwa menarik, selalu ia tulis dalam buku hariannya itu.
***
Pagi itu cuacanya sudah mulai cerah, senyuman mentari pagi menghiasi pucuk-pucuk pohon yang tampak dari kejauhan. Masih seperti biasa, Andi selalu bangun lebih dulu dari Fandi, segala peralatan ia masukkan ke dalam tasnya. Termasuk PR yang sudah ia siapkan sejak tadi malam. Tapi ia tak mencurigai buku catatan hariannya yang tak lagi ada di atas meja.
Hal berbeda pagi itu juga di tunjukkan Fandi, meskipun bangun telat, tapi ia tetap berangkat bersama dengan Andi, tak seperti biasa. Padahal hari-hari sebelumnya Fandi tak pernah mau berangkat berbarengan dengan saudara kembarnya itu, jangankan satu kamar, jalan berdua saja ia tak mau, benar-benar kembar yang berbeda dalam segala hal. Sesampainya di sekolah, Andi langsung menuju kelasnya, yaitu kelas V A. Sedangkan Fandi tak langsung menuju kelas, karena ia merasa PR-nya telah ada di dalam tasnya.                        “Fan, ayo kita masuk, duduk di kelas saja sebelum Bu Rina masuk”! Andi mengajak saudara kembarnya itu.                                                                                                       
       “bodo amat, kan aku udah buat PR, lo tu masuk sana, buat PR mu”! sahut Fandi dengan sedikit cengengesan, karena ia merasa Andi akan kena hukuman hari itu, kan PR Andi sudah di ambilnya.
Andi pun masuk kelas, sementara Fandi masih saja asyik bermain dengan temannya yang rata-rata anak kelas III. Karena Fandi memang punya banyak teman adik kelas, karena dengan mudah menyuruh-nyuruh mereka. Meskipun nakal dan bandel, Fandi pengecut, hanya berani pada adik-adik kelas saja, sedangkan dengan kakak kelasnya ia tak berani.
Tak lama kemudian bel berbunyi.
       Kriiiiing....kring...kriiiing,,,,,
Menandakan pukul 07.30, itulah waktu dimana kegiatan belajar mengajar di sekolah itu di mulai. Semua anak kelas V masuk kelas, tak sama halnya Fandi, yang masih saja di luar. Tak lama kemudian Bu Rina, guru yang mengajar pagi itu masuk ke kelas.                                  
       “Pagi anak-anak! Bagaimana kabarnya hari ini?                                                       
       “pagi juga Bu Rina, Alhamdulillah, luar biasa, Allahu Akbar”! jawab anak-anak serentak. Mereka memang sudah dibiasakan menjawab seperti itu.                                          
       “Baiklah, kita absen terlebih dahulu, bagi nama yang Ibuk panggil silahkan langsung menyerahkan PR-nya ya”! lanjut Bu Rina.                                                                                          
       “ya Buk” jawab mereka serentak.
Setelah semuanya di panggil, termasuk juga Andi, semuanya telah menyerahkan tugas. Tibalah saatnya giliran Fandi.                                                                                                        
    “Fandi”!. Tak ada suara yang menjawab.                                                                               
    “Mana Fandi”? Tanya Bu Rina                                                                                  
    “Saya Buk!, jawab Fandi yang tiba-tiba saja suaranya terdengar dari luar, ia buru-buru menuju meja Bu Rina.                                                                                                                      
     “maaf Bu, saya telat. Tadi saya ke WC karena sakit perut”! terangnya ketika ditanya mengapa terlambat.                                                                                                               
    “baiklah, sekarang mana PR mu? Tanya Bu Rina.                                                        
    “ada Buk”! jawab Fandi yang dengan santai memberikan buku yang ia curi milik kembarannya itu. Kemudian ia dipersilahkan duduk oleh Bu Rina. Tak lama kemudian Bu Rina memanggil Fandi, dan langsung marah-marah.                                   
    “apa yang kamu buat ini Riki, ini diari bukan tugas matematika yang Ibu berikan kemarin”! Bu Rina geram.
Fandi hanya diam, ia tak bisa menjawab apa-apa, karena ia juga tak tahu buku itu ternyata diari.                “Ayo ngaku, ini apa”? Bu Rina semakin marah.
Dengan terbata-bata Fandi mengakui kalau itu memang bukan PR-nya. Dan itu adalah PR Andi kembarannya. Ternyata itu juga bukan PR matematika melainkan buku catatan harian milik Andi. Serentak Murid kelas V A itu tertawa.                                                                      
     “diam semua”! sekarang kamu Ibu hukum, Hormat di tiang bendera luar sana”! suruh Bu Rina. Tanpa ada bantahan, Fandi mengikuti perintah itu. Lebih setengah jam Fandi Hormat di depan tiang bendera, dan membuat dirinya kapok. Ia berjanji di dalam hati tak akan menyontek lagi dan akan menjadi lebih baik. Ia merasa malu pada teman-teman, malu pada Bu Rina dan terlebih malu lagi sama kembarannya Andi.
Setelah kejadian itu Fandi mulai menunjukkan perubahan, ia tidak lagi terlambat. Semua tugas yang guru berikan selalu ia kerjakan. Tamat

Kamis, 13 Februari 2014

Kutukan Cinta


Pada zaman dahulu  kala hiduplah seorang putri yang akrab dipanggil dengan nama Ajeng putri. Ia anak tunggal dari raja Maulana Abdullah (ayah) dan Putri Abdullah (ibu).  Keluarga mereka berasal dari daerah India. Dalam kesehariannya, Ajeng Putri biasa di panggil Putri.                                        
 Ajeng Putri memiliki seorang kekasih yang bernama Sutan. Setelah Putri  berumur 14 tahun, Sutan meminang Ajeng Putri ke rumahnya. Orang tua Ajeng pun setuju atas pertunangan tersebut. Pada saat peminangan berlangsung Sutan dan Ajeng bersumpah atas keseriusan cinta mereka dan akan menikah nantinya. Bunyi sumpah mereka yaitu “kalau  Sutan mengingkari janji maka ia akan menjadi ular yang terkurung di dalam gua batu dan tidak bisa keluar lagidan kalau ajeng Putri yang mengingkari maka ia akan menjadi “batu besar, di tegur orang sambil lewat”. Perjanjian tersebut diucapkan dengan memegang kitab suci Al-quran dan disaksikan oleh jemaah shalat jumat yang telah selesai menunaikan ibadah shalat jumat. Beberapa minggu setelah mereka bertunangan, Ajeng pamit kepada kekasihnya bahwa ia bersama keluarganya mau pergi merantau ke ranah seberang pulau. Dengan berat hati Sutan melepaskan kepergian kekasihnya tersebut. “Ya Kanda, aku akan menjaga cinta dan janji kita”. “Meskipun Kanda jauh di mata, tapi kanda dekat di hati Dinda”! Kata putri. “selamat jalan Dinda, semoga engkau selamat disana. Besar harapanku menantikanmu, semoga kita dipertemukan dalam cinta”. Ungkap Sutan. Ia tampak sangat sedih melepaskan sang putri. Begitupun Putri, ia juga tampak sangat sedih meninggalkan kekasihnya itu. Bulan berganti bulan hingga tahun pun datang menjelang, namun keluarga Ajeng Putri tidak ada niat untuk pulang ke kampungnya. Setelah lama menetap di Pulau seberang, dan tinggal di daerah tersebut, maka terpikatlah hati seorang anak raja daerah itu kepada Putri , karena kebaikan keluarga dan kecantikan Putri. Anak raja tersebut bernama Raden nan Saleh. Raden nan Saleh meminang Putri. Karena sejak pertama bertemu dengan Putri, hatinya senang sekali. Ia merasa Putri adalah sosok yang tepat menjadi pendampingnya. Karena sudah lama tidak berjumpa dengan Sutan, maka cinta Putri mulai memudar dan akhirnya menerima pinangan si Raden nan Saleh tersebut.  Setelah beberapa hari peminangan di lakukan, Raden nan Saleh dan Ajeng Putri berencana untuk menikah. Mereka pun merayakan pernikahan mereka. Pernikahannya berlangsung sangat meriah, yang dirayakan selama tujuh hari tujuh malam. Pada saat peramian galanggang, datanglah Sutan di ranah Pulau seberang. Ajeng Putri sangat kaget, ia tidak menyangka ternyata Sutan datang ke pesta pernikahannya. Padahal Sutan tak pernah diberikan undangan. Sutan berusaha mengajak Putri untuk pergi bersamanya, tapi sayang Putri lebih memilih si Raden nan Saleh calon suaminya, dari pada Sutan kekasih lamanya. “Mari Dinda! Ikutlah denganku. Aku akan menjagamu”!. Sutan membujuk kekasihnya itu. “Tidak Kanda, biarkan aku hidup bersama calon suamiku disini”!. Putri tetap tak ingin pergi bersama Sutan. “Tidak”!. “akulah suamimu nanti, jangan Kau sia-siakan cinta kita selama ini Dinda”!.  Putri hanya terdiam, ia bingung. Tak mungkin ia pergi bersama Sutan. Karena akan membuat malu keluarganya. Lama sekali mereka tanpa kata. Tetapi dalam diam itu Sutan mengambil kesimpulan. Ia merelakan sang kekasih yang selama ini ia dambakan. Karena tak ada cinta lagi di dalam hati Putri baginya. “Baiklah, jika memang itu pilihan Dinda, aku mengalah”!.  Sutan berusaha menerima semua keadaan yang ada. Meskipun itu pahit baginya. Dan ia pun pergi meninggalkan Pulau itu. Sutan kembali ke Kampung halamannya. Ia telah kehilangan seorang Putri yang sangat ia cintai. Waktu terus berjalan, Putri bahagia bersama suaminya Raden nan Saleh. Dari pernikahan tersebut mereka di karuniai seorang putra bernama Raden Linggo nan Saleh. Akrab disapa Linggo. Linggo sangat tampan. Sehari-hari ia selalu bermain bersama kakeknya. Sewaktu putranya asik bermain dengan mainan buatan kakeknya (raja Maulana Abdullah) tanpa ia sadari mainannya tersebut jatuh ke dalam laut dan putranya menangis sejadi-jadinya, tanpa pikir panjang Putri pun langsung terjun ke dalam laut untuk mengambilkan mainan putranya. Sungguh malang nasib Putri, ombak datang menghempas dan menjepitkan tubuhnya pada batu besar dan dia pun teringat akan sumpah kepada tunanganya Sutan. Dia sadar bahwa dia telah melanggar sumpahnya. Dalam keadaan pasrah Putri berdoa kepada Tuhan yang Maha Kuasa agar air laut surut. Doa nya dikabulkan oleh Sang Maha Pencipta, tiba-tiba air laut menjadi surut. Tapi tak lama kemudian tubuhnya perlahan menjadi batu karena telah mengingkari janji dan sumpah yang telah ia ikrarkan dengan Sutan kekasihnya. Kabar itu akhirnya terdengar di telinga Sutan. Sutan sangat terpukul dengan semua yang terjadi padanya. Ia telah kehilangan Putri untuk selama-lamanya. Sutan setiap hari hanya melamun. Ia tak menyangka akan kehilangan orang yang ia cintai itu selamanya. Sehingga hari demi hari kesehatannya menurun. Kondisinya semakin memburuk hari demi hari. Sutan pun akhirnya menyusul kekasih lamanya itu. Sutan meninggal dunia dan ia di makamkan di samping batu kekasi lamanya itu, ajeng Putri. 
(M.Takdir, Cerpen ini diterbitkan oleh Harian Umum Singgalang 14 Desember 2013)