Kamis, 20 Februari 2014

Si Dia

         “Hallo dek!” suara itu terdengar bulat di hp yang menempel di telingaku.              
         “Gimana? Berapa ip mu semester kemarin, ada perubahan tidak”? suara bulat itu kembali menyapa dengan sebuah pertanyaan yang sebelumnya sudah ku duga pasti akan ku dapati juga darinya. Suara bulat itu adalah suara abangku, Daus namanya. Aku yakin hari ini memang pasti ia akan menanyakan itu.            
         “Iya bang, Alhamdulillah ada bang” jawabku. “Alhamdulillah juga tidak ada yang gagal semester ini, dan lebih baik dari kemarin bang”. Aku sedikit bangga menjawabnya. Karena memang nilaiku naik dari sebelumnya. Aku baru saja melewati semester yang berat kemarin, tepat hari ini hasil dari jerih payahku selama enam bulan itu akan diumumkan. Itulah yang ingin diketahui oleh abangku Daus. Memang setiap aku selesai ujian abangku itu selalu bertanya kapan pengumuman nilai atau indeks prestasi itu diumumkan. Bang Daus sangat beralasan untuk menanyakan nilaiku itu, aku memang kuliah dalam pembiayaan dia. Sudah semester 3 semua biaya kuliahku di tanggung olehnya. Karena itulah ia tidak ingin aku main-main dalam kuliah. Tetapi untung saja nilaiku bagus, jadi aku bisa sedikit bangga. Karena semester sebelumnya nilaiku tak sebagus sekarang.                                                                                                                             Aku memang sedang berbangga, bukan saja karena nilaiku itu naik, tetapi aku membanggakan diriku karena aku bisa melewati semester kemarin dengan mendapatkan nilai yang tak kuduga sebelumnya. Semester itu merupakan semester yang sangat sibuk bagiku. Bila saja aku renungkan semua, terkadang tak akan percaya aku dapati nilai itu, dalam ketidaksadaran itu pula aku mengingat semuanya, aku ingat kala itu aku sangat disibukkan organisasi kampus yang sangat menyita waktu bermain dan belajarku, apalagi di kampus aku mengikuti dua organisasi sekaligus, dan dengan kesibukan itu pula aku lupa pada kekasihku. Aku lupa memberikan perhatian padanya, sehingga ia berpaling dariku. Dan itulah saat-saat tersulit.  Kisah yang pedih bagiku.                                                                                                      
          Pagi itu matahari tak seperti biasanya, yang biasa membakar kulit dan menantang garang  sebelum-sebelumnya, pagi itu seakan tak tampak kala mendung mulai menutupi. Seakan matahari pagi itu kalah dalam pertarungan yang sangat hebat, dan akhirnya ia menangis. Membuat padang kota tercinta redam sementara waktu dari terik yang selalu membakar itu. Dalam cuaca yang amat dingin, aku terpaksa menarik kembali selimut yang sebelumnya sudah mulai aku lepaskan. Karena hari itu ku tak ada ujian, jadi tidur bisa aku lanjutkan. Selimut seakan-akan melenakan aku dalam dingin dan membuat mata terkalahkan. Tak berapa lama ku terpejam, suara hp yang sehari-hari menemaniku berbunyi, seakan dia tahu tuannya sedang tidur dan harus dibangunkan. Rasa hangatnya selimut membuat aku enggan untuk mengangkatnya. Karena aku tahu, tak ada orang lain yang menghubungiku pagi-pagi selain si dia.                                                                           “ah... biarlah, nanti saja”! pikirku. Aku melanjutkan keinginan terbesar mataku pagi itu. Sehingga tak ku sadari saat terbangun sudah pukul 11.00 saja rupanya. dan di hp pun sudah lebih dari 10 kali panggilan tak terjawab. Serta ada 2 pesan, yang satu dari si dia dan satu dari koordinatorku di bidang kaderisasi organisasiku. Aku tak langsung membalas kedua pesan itu. Aku langsung mandi, sesudahnya baru ku buka lagi pesan keduanya. Ternyata hanya satu pesan yang membutuhkan balasan, yaitu dari si dia. Karena pesan dari koordinatorku itu hanya berisi pesan mengingatkan aku bahwa nanti sore ada rapat seperti biasa. Semantara pesan dari si dia berisi pertanyaan mengapa aku tak angkat telfonnya, karena ada sesuatu yang sangat penting yang ingin ia bicarakan. Padahal aku tahu, palingan ia hanya ingin bilang kangenlah, rindulah, ujung-ujungnya pengen ketemu. Padahal aku orang yang sibuk di kampus, belum lagi sekarang masa-masa ujian dan aku harus fokus belajar. Tapi dari pemikiran ego itu aku terbesit juga rasa rindu padanya. Secuek-cueknya aku, aku juga butuh dia, orang yang selama ini selalu menemani, membantu dan dia baik sekali.             “ mungkin dia memang sedang membutuhkan aku”! pikirku sejenak. Lalu aku mencoba menelfonnya. Eehh... tau-taunya nomor yang aku hubungi itu sedang menerima panggilan dari nomor lain. Itu ku ketahui karena operator selular itu mengatakan “ nomor yang Anda tuju sedang sibuk, cobalah hubungi beberapa saat lagi”!. Jawaban itu membuatku curiga dan tak terima. Namun aku paksa segumpal daging penentu arah baik buruknya manusia itu untuk bersabar. Dan benar saja, kesabaran itu berbuah hasil juga, ia menghubungiku.                                                                                                               
             “Halo, kok nomornya sibuk? Terlalu banyak penggemarmu ya”? Sindirku yang menunjukkan ketidaksenanganku kala itu.                                                                                        
             “maaf bang, tadi bapak di kampung menelfon adek, bertanya kapan ujiannya”! jawabnya membela diri. Aku langsung saja percaya, karena memang orang tuanya sering menelfonnya. Dia memang anak kesayangan orang tuanya. Hanya dia anak perempuan satu-satunya dikeluarga. Dia dikuliahkan di Padang juga. Tapi tak sekampus denganku. Dia kuliah di kampus swasta jurusan kebidanan.                                                                                                
             “ya sudah tak apa!” jawabku.                                                                                                 “                    "Bang, bisa temani adek ke tempat service laptop? Laptop adek rusak bang”!. sambungnya seolah langsung saja mencari topik lain agar aku tak lagi marah. Tapi karena aku ada jadwal ujian, terpaksa aku menolaknnya.                                                 
             “maaf dek, Abang ada ujian di jam yang bersamaan dengan permintaan adek, gimana kalau lain kali saja”? tanyaku seolah seperti menghindar. Padahal aku sangat ingin bertemu dia. Karena sudah seminggu aku tak melihat parasnya. Rasa seminggu itu bagaikan waktu yang sangat lama untuk menanti, Tapi memang aku sedang tak sempat untuk menemuinya hari itu karena ada ujian. Aku tak mau rasa rindu mengganggu fokusku.                                      
             “ ya sudah bang tidak apa-apa! Nanti adek minta tolong sama lusi saja”! katanya.         
             “ya dek, maafin abang ya, lain kali abang temenin adek kalau abang tak ada kegiatan”! bujukku agar dia tak terlalu kecewa. Ku terpaksa membiarkannya pergi tanpa ada aku yang menemani. Toh ada lusi juga temannya pikirku.                                                                        
             “ya bang, ngga apa-apa kok”! jawabnya. Dan percakapan itu berakhir.
            Jam menunjukkan pukul satu siang, 20 menit lagi ujian akan dimulai. Aku bergegas ke kampus agar tak terlambat dalam ujian pertama untuk hari itu. Tepat pukul 13.20 wib ujian dimulai. Aku begitu fokus membaca dan sangat berhati-hati dalam menjawabnya. Alhamdulillah ujian kali ini tidak sesulit yang aku kira. Malahan aku orang pertama yang keluar ruangan.
           Setelah ujian, rasa rindu yang sebelumnya dapat ku bendung, akhirnya kambuh lagi saat itu. Membuat pikiranku terasuki rasa yang amat tak tenang bila aku tak segera menemuinya. Rasa itulah menggerakkan aku untuk menghubunginya. Saat-saat seperti itu hp lah yang sangat aku butuhkan untuk sekedar mendengar suaranya. Aku menelfonnya. Tapi sayang, selalu saja operator selular yang menjawab telfonku. “nomor yang Anda tuju sedang tidak aktif atau berada di luar jangkauan”! itulah katanya. Rasa-rasa inginku buang hp itu. Tapi kalau di buang sayang juga. Itu adalah hp ku satu-satunya. “Entahlah” pikirku. Lagi-lagi hati ini harus bersabar. Mungkin batre hp nya sudah habis. Relung-relung pikiranku menghibur diri.                     
          Karena tak ada kabar darinya, aku mencari suasana yang bisa menyenangkan aku sementara waktu menjelang ia menghubungi aku. Tapi aku pun tak tau apa yang bisa ku lakukan. Mungkinkah aku harus ke pantai, ke kampus, atau ke Mall untuk sekedar mendinginkan badan dengan AC yang menyejukkan. Karena kami mahasiswa ini kebanyakan ke Mall itu kalau tidak ada uang cukuplah untuk ber-Ac saja. Tapi dari opsi tadi tak ada yang aku pilih. Malahan aku pergi ke pasar untuk hanya sekedar jalan-jalan saja.                                 Di pasar, tak ada yang aku beli. Jangankan membeli, menawarkan saja tidak. Aku hanya untuk mencari hiburan atau hanya sekedar cuci mata. Semua jorong atau pun simpang yang ada orang berjualan tak lepas dari kunjungan mataku. Semuanya dapat ku kunjungi meskipun hanya dari kejauhan. Tentu saja cukup melelahkan dan membuat lapar juga perut ini. Aku berusaha mencari tempat untuk menyelesaikan tanggung jawabku pada perut yang sedang meminta nasi itu. Aku pun mendapati sebuah tempat untuk itu. Aku duduk di kursi paling sudut, aku sebenarnya malu, karena hanya sendiri saja. Tak ada teman di sampingku. Yang kulihat hanyalah orang-orang tak ku kenal dengan temannya masing-masing. Ada yang dengan teman ceweknya, ada yang sesama cowok, ada juga yang dengan sesama cewek saja. Tapi aku tak menghiraukan hal itu. Yang terpenting rasa suntukku di rumah dan laparku ketika itu hilang sementara waktu sampai si dia menghubungiku.                                                   
         Saat asyik-asyiknya makan, aku melihat ada sesosok perempuan cantik bersama pasangannya di sudut sebelah kananku. Rasa-rasanya aku kenal perempuan itu, orangnya tak dari sejengkal lebih pendek dariku, berjilbab, dan mengenakan baju yang sering aku lihat selama ini. “Mungkinkah itu si dia”? pikiranku mulai tak tenang. Kalau si dia kok dia bersama pria? Bukankah dia tadi ingin memperbaiki laptopnya dengan teman ceweknya lusi? Lantas kenapa dia ada disini? Kenapa juga hp nya mati? Pertanyaan itu menghantuiku, membuat makanku tak seenak biasanya. Padahal saat itu aku memesan menu kesukaan bukanlah sepotong tahu ataupun telur dadar. Melainkan sepotong daging ayam yang di bumbui dengan cabe hijau. Tapi rasanya itu tak enak lagi ketika melihat perempuan yang ada di sudut sana.tapi aku tak berani mendekatinya. Aku takut nanti salah orang, kalaupun benar juga akan membuatku kecewa. Ini kesekian kalinya hatiku harus bersabar. Tak lama kemudian perempuan dengan teman laki-lakinya itu berdiri dari kursinya. Mungkin mereka sudah selesai makannya. Atau mungkin mereka tak ada nafsu makan seperti aku saat itu. Kok mereka cepat sekali. Ketika perempuan itu berdiri, teman laki-lakinya langsung saja memegang tangannya. Seolah-olah begitu akrab dan begitu mesra. Membuat hatiku tambah hancur dan berkeping-keping. Kok aku kecewa, itu bukanlah si dia. Itu orang yang tidak ku kenal. Aku menghibur diriku. Tetapi, ketika mereka lewat di sampingku menuju keluar. Aku dapat melihat perempuan itu dengan sangat jelas. Ternyata memang benar. Itu adalah si dia...hatiku yang selama ini keras tiba-tiba saja lunak, mengecil, membakar seluruh lemak-lemak jahat dalam tubuhku. Membuat peluh bercucuran. Seakan seperti matahari tadi pagi. Yang biasanya garang menantang membakar, tiba-tiba saja di kalahkan kabut. Sehingga menangis dan membasahi bumi. Itulah yang aku rasakan saat itu. Tak ada yang dapat aku lakukan, aku serasa kalah. Ingin ku menghampirinya tetapi dia bersama dengan seorang cowok. Yang kelihatannya lebih kuat dariku, lebih putih, lebih tinggi, lebih pula lain-lainnya, membuatku tak berdaya. Untungnya si dia tidak melihatku. Dan mereka pun berlalu. Mereka pergi meninggalkan luka teramat dalam bagiku. Pikiran dan hatiku terusir dari bumi. Seakan akan aku tak punya tempat di bumi ini. Entahlah, mungkin itu pilihan dia. Dia berhak atas hidupnya. Memang aku juga yang salah. Selama ini aku begitu cuek padanya. Jarang memperhatikannya. Sok tak membutuhkan seolah-olah hanya dia yang butuh aku. Padahal aku sangat butuh akan dia. Tetapi aku tak salah sendiri, kan aku sibuk,  dia juga harus bisa mengerti itu. Tapi kok dia tega berbuat seperti ini. Pikiran ku beradu argumen dengan sendirinya. Aku kira saat ini aku hancur. Tadinya ingin menenangkan diri malah tambah tidak tenang. Malah tambah hancur. Dalam pikiran yang berkecamuk itu, aku meninggalkan tempat itu, tempat yang tadinya aku harus bertanggungjawab penuh dengan perutku, eeh malah kecewa dan perut pun belumlah puas rasanya.                                                                      
       Sesampainya di rumah, tak ada yang aku inginkan. Aku kecewa. Baru kali ini aku merasakan apa yang aku rasakan saat ini. Mengapa dia begitu tega, bukankah kita telah lama bersama, bukankah kita dari kampung yang sama datang ke Padang untuk cita-cita kita nanti. Bukankah, bukankah, dan hatiku berisi pertanyaan bukankah? Dalam kusutnya pikiran ku itu. Tiba-tiba saja hp ku berbunyi, ternyata si dia yang mengkhianatiku yang menghubungiku. Enggan rasanya aku menjawabnya. Tapi aku harus menjawabnya.                                                
      “halo, assalamualaikum! Kenapa dek”? tanyaku.                                                                  
      “halo bang, waalaikumsalam, maaf ya bang tadi adek pergi memperbaiki laptop dengan lusi. Hp habis batre”!. katanya. Seolah-olah ingin membohongiku. Padahal aku tau semuanya. Tapi kok dia tega berbuat demikian. Aku tak habis pikir. Amarahku kian memuncak kala itu. Bajingan...                                                      “Owch...pinter kau ya, tega kau dek, tak punya perasaan”! aku langsung saja meluapkan amarah yang sudah tak terkendali itu.                                                                              
       “ada apa ini bang”? jawabnya. Seolah tak berdosa.                                                            
       “jangan pura-pura kau, aku tahu semuanya. Pengkhianat kau. Bajingan”! amarahku kian memuncak.
       “aku melihatmu bersama seorang laki-laki di pasar, kalian bergandengan tangan begitu akrab. Itu yang kau katakan memperbaiki laptop”?                                                 
       “owch jadi abang sudah tau semuanya,maaf bang, ini aku lakukan semuanya karena kau juga. Selama ini kau tak lagi seperti dulu yang begitu memperhatikan aku. Kau begitu sibuk dengan urusanmu itu. Sekarang kau sudah tau, maafkan aku”! dan hp dimatikan. hanya itu yang sempat dia ucapkan, seolah meluapkan kekecewaannya padaku. Aku sadar semua yang dikatakannya itu benar. Kini aku tak bisa menghalanginya. Itu jalan terbaik untuknya. Dia bukan lagi si dia yang ku kenal dulu. Entahlah...dalam masa-masa ujianku, dia tega melakukan ini...ingat kau! Aku terima dan akan aku hadapi...!!!                                               
       Masa sulit itu tak berlaku lagi saat ini, kini semua telah berlalu. Aku kembali berbangga pada abangku itu. Belum sempat bicara panjang lebar, ternyata sudah dimatikan sambungan komunikasi itu oleh abangku. Mungkin dari tadi...       
                                                                           Tamat                      
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar